Kawasan Timur Tengah dan Afrika (MEA) secara agresif mengupayakan integrasi kecerdasan buatan (AI), namun kesenjangan yang semakin besar antara ambisi dan kesiapan praktis mengancam potensi ekonomi penuh dari transformasi ini. Sebuah studi baru yang dilakukan oleh IBM Institute for Business Value mengungkapkan bahwa meskipun 77% pemimpin data MEA memprioritaskan investasi untuk mempercepat kemampuan AI, hanya 25% yang menyatakan keyakinan bahwa infrastruktur data mereka yang ada dapat diandalkan untuk mendukung aliran pendapatan baru yang didorong oleh AI. Keterputusan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang kritis: banyak organisasi yang terburu-buru menerapkan AI sebelum dapat sepenuhnya mengatasi tantangan data yang mendasarinya.
Kesenjangan Keterampilan Data yang Meningkat
Salah satu hambatan paling signifikan terhadap keberhasilan AI di MEA adalah meningkatnya kekurangan keterampilan data tingkat lanjut. Studi tersebut menemukan bahwa 54% responden kini menyebut hal ini sebagai tantangan utama mereka, meningkat hampir dua kali lipat dari 28% pada tahun 2023. Peningkatan pesat ini menunjukkan kesenjangan talenta semakin melebar lebih cepat dari yang diperkirakan, sehingga berpotensi menghambat operasionalisasi inisiatif AI dan membatasi keunggulan kompetitif. Permasalahannya bukan hanya kurangnya personel, namun juga kurangnya individu yang dilengkapi dengan keahlian khusus yang diperlukan untuk mengelola, menyempurnakan, dan memanfaatkan data secara efektif untuk aplikasi AI.
Integrasi Strategi Data dan Tantangan Data Tidak Terstruktur
Meskipun ada kekhawatiran mengenai kesiapan, integrasi antara strategi data dan peta jalan teknologi yang lebih luas telah meningkat. Tiga perempat (76%) Chief Data Officer MEA kini melaporkan bahwa strategi data mereka selaras dengan investasi infrastruktur, naik dari 55% pada tahun 2023. Namun, hanya 27% yang yakin dengan kemampuan organisasi mereka untuk mengambil manfaat dari data tidak terstruktur, yang merupakan komponen penting bagi banyak aplikasi AI. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun keselarasan strategis membaik, kapasitas praktis untuk menangani data yang kompleks dan nyata masih terbatas.
Akuisisi Bakat dan Demokratisasi Data
Perjuangan untuk merekrut profesional data yang terampil semakin intensif. 79% pemimpin MEA yang disurvei merasa kesulitan untuk mengisi peran-peran penting di bidang data, dan hanya 51% yang percaya bahwa upaya rekrutmen mampu memberikan keterampilan dan pengalaman yang diperlukan, angka ini mengalami penurunan dari 66% pada tahun 2024. Pada saat yang sama, demokratisasi data semakin meningkat, dengan 72% pemimpin data MEA menyatakan bahwa akses karyawan yang lebih luas terhadap data membantu organisasi bergerak lebih cepat. Namun, hanya 28% yang sangat setuju bahwa mereka dapat menyampaikan dengan jelas bagaimana data memfasilitasi hasil bisnis, dan hanya 27% yang telah menetapkan metrik yang jelas untuk mengukur nilai hasil berdasarkan data. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun akses terhadap data semakin luas, kemampuan untuk menerjemahkannya menjadi nilai bisnis yang nyata masih menjadi tantangan.
Menjembatani Kesenjangan: Pendekatan AI-ke-Data
Untuk mengatasi tantangan ini, 75% Chief Data Officer MEA mengadopsi pendekatan “AI-to-data” dibandingkan memusatkan data, dan 68% secara aktif mengembangkan beragam kumpulan data untuk melatih agen AI. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran ke arah pemanfaatan AI untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas data dibandingkan mengandalkan metode pengelolaan data tradisional. Namun, pendekatan ini memerlukan investasi besar dalam infrastruktur dan keahlian AI, yang mungkin tidak dimiliki banyak organisasi.
Tren dan Implikasi Global
Temuan global studi IBM memperkuat pentingnya mengatasi kesiapan data. Di seluruh dunia, 81% Chief Data Officer memprioritaskan investasi yang mempercepat AI, dengan 13% anggaran TI kini dialokasikan untuk strategi data, naik dari hanya 4% pada tahun 2023. Namun, hanya 26% di seluruh dunia yang menyatakan keyakinan bahwa kemampuan data mereka dapat mendukung aliran pendapatan yang didukung AI. Keterputusan global ini menggarisbawahi tantangan sistemik yang dihadapi organisasi dalam menerjemahkan ambisi AI menjadi hasil yang praktis.
Upaya agresif di kawasan MEA terhadap AI, ditambah dengan kesenjangan kesiapan data yang semakin lebar, menghadirkan peluang dan risiko. Organisasi yang memprioritaskan kualitas data, berinvestasi dalam pengembangan talenta, dan mengadopsi pendekatan AI-ke-data yang inovatif akan berada pada posisi terbaik untuk menangkap potensi ekonomi sepenuhnya dari transformasi ini. Negara-negara yang gagal mengatasi tantangan-tantangan ini berisiko tertinggal dalam persaingan yang semakin ketat
